intro
Cm
G A# Cm
Cm
G
Adik pandang-pandang pandang pada
siapa
A#
Cm
Kalau pada abang hai gembira
rasanya
Fm
Cm
Adik senyum-senyum senyuman yang
menggoda
G
G
Adik jangan bingung kami belum
berpunya
Cm
G
Abang lirik-lirik melirik pada
siapa
A#
Cm
Kalau pada adik bolayanlah
jalannya
Fm
Cm
Abang kenyit-kenyit kenyit mata
buaya
G
Cm
Abang baik sikit nanti ku pulas
telinga
G
Hai cik adik, Ya cik abang
G
Manis jelita, Biasa saja
G
Siapa nama, Itu rahsia
Cm
Tinggal di mana, Rumah bonda
Fm
Bolehkah kami, Boleh apanya abang
Cm
Jalan bersama, Oh itu bahaya
G
Cm
Jangan bimbang abang bujang trang
tang tang
Cm
G
Hai cik adik sayang jalan
melenggang-lenggang
Fm
Cm
Tak ubah seperti hai putri gunung
ledang
Fm
Cm
Hai cik abang sayang jangan cuba
menggoda
G
Cm
Muka cik abang semua tak boleh
dipercaya
G
Hai cik abang, Cik adik sayang
G
Adik bertanya, Nak tanya apa
G
Kenapa abang, Kenapa saya
Cm
Suka buang masa, Memang hobi kita
Fm
Nampak bergaya, Itu eksyen saja
Cm
Apapun tak ada, Tapi lembu ada
G
Cm
Memang abang semua tak berguna
G
Hai cik adik, Ya cik abang
G
Pilihlah saya, Muka tak lawa
G
Ambillah saya, Misai tak ada
Cm
Kalau saya pula, Kurus pula
Fm
Dah tentu saya, Botak kepala
Cm
Nak macam mana, Hensem bergaya
G
Cm
Kami pun hensem juga ya ya ya ya
A#
Cm
Usik mengusik tiada salahnya
Fm
Cm
Asalkan baik niat di hatinya
A#
Cm
Lebih baik bermaafan sahaja
G#
G
Agar hidup kan lebih bahagia
G
Bersama
Cm
G
Marilah kita bersalam-salaman
A#
Cm
Tanda bermulakan persahabatan
Fm
Cm
Jikalau ada terkasar bahasa
G
Cm
Bermaaf-maafanlah di antara kita
G
Cm
Bermaaf-maafanlah antara kita
|
Rabu, 27 Maret 2013
SENARIO - Zapin Usik Mengusik
Minggu, 10 Maret 2013
Kamus Pintar Kelapa Sawit
Anthracnose atau Penyakit Antraknosa Basal Stem Rot atau Penyakit Busuk Pangkal Batang
Benteng Penahan
BHL
Blast Disease (Penyakit Akar) Blok
Brondolan
BTP
Buah Keling
Buah Matahari
Buah Mentah
Buah Restan
Buah Tinggal
Bud Rot atau Penyakit Busuk Titik Tumbuh
Bulk
Bunch Rot atau Penyakit Busuk Tandan
Bunga Cengkeh
Burning
Buru Lalang
Busuk Batang Atas (Upper Stem Rot)
Busuk Kering Pangkal Batang (Dry Basal Rot) Busuk Kuncup (Spear Rot)
Busuk Pangkal Batang (Basal Stem Rot)
Busuk Tandan (Bunch Rot)
Busuk Titik Tumbuh (Bud Rot)
But Rot (Penyakit Busuk Titik Tumbuh)
Cados
Cangkem Kodok
Carlog
Cincang Guling Collection Road
Conveyor
CPO atau Crude Palm Oil Crown Disease atau Penyakit Tajuk
Cuci Parit
Curi Buah Dry Basal Rot (Penyakit Busuk Kering Pangkal Batang) EtiolasiGaruk Piring
Garuk Piring
Gawangan
Gawangan Mati
Hancak Potong Buah
Hopper Hutan Hujan Tropis
Imas
Incinerator
Intersepsi Akar
Kastrasi Kelapa Sawit
Kerani Buah
Kepater
Konservasi Tanah
KTK : Kapasitas Tukar Kation
Kultur TeknisLangsir
Large Bag
Lengas Tanah/Air
MengancakNomor TPH
Overage Seedling
Okupasi LahanPaku Kapal
Paku Lintah
Pancang Ancak
Panen Puncak
Paret Primer
Parit Sekunder
Parit TersierPasar Balok
Pasar Kebun
Pasar Motor Pasar Pikul
Pasar Tengah Patch Yellow (Penyakit Garis Kuning)
Penyakit Akar (Blast Disease)
Penyakit Antraknosa
Penyakit Busuk Batang Atas (Upper Stem Rot)
Penyakit Busuk Kuncup (Spear Rot)
Penyakit Busuk Kering Pangkal Batang (Dry Basal Rot)
Penyakit Busuk Pangkal Batang (Basal Stem Rot)
Penyakit Busuk Tandan (Bunch Rot)
Penyakit Busuk Titik Tumbuh
Penyakit Garis Kuning (Patch Yellow)
Peringgan
Peres
Perun
Piringan
PKO atau Palm Kernel Oil
Pompong
Potong Buah
Program Revitalisasi Perkebunan
Pisifera
Restan
Restan Angin
Respirasi Heterotrof
Respirasi Autotrof
Resultante energi
RSPO
Rumpuk
Rumpuk MekanisSabuk Api
Semprot Piringan
Sengkleh
Sub-soil
Sisip
SKU
Slope Fall Spear Rot atau Busuk Kuncup
Songgo Pelepah
Spiral
Sub-soil
Tali Air Tali Air
Tanaman C3
Tanaman C4 Tanaman Menghasilkan (TM)
Taksasi panen
Teknik Penanaman
Tenera
Teras bersambung
Teras Individu TPH
Titi panen
Titi Betina
Titik Sensus
Top soil Ulat Api
Upper Stem Rot atau Penyakit Busuk Batang Atas
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 1999 tentang Izin Lokasi
PERATURAN MENTERI NEGARA AGRARIA/
KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL
TENTANG
IZIN LOKASI MENTERI NEGARA AGRARIA/KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL
Menimbang | : | a. Bahwa dalam rangka pengaturan penanaman modal telah ditetapkan ketentuan mengenai keharusan diperolehnya Izin Lokasi sebelum suatu perusahaan memperoleh tanah yang diperlukan untuk melaksanakan rencana penanaman modalnya; |
b. Bahwa pemberian Izin Lokasi tersebut pada dasarnya merupakan pengarahan lokasi penanaman modal sebagai pelaksanaan penataan ruang dalam aspek pertanahannya; | ||
c. Bahwa pemberian Izin Lokasi tersebut telah diperluas sehingag meliputi juga izin untuk memperoleh tanah untuk keperluan yang tidak ada hubungannya dengan penanaman modal; | ||
d. Bahwa untuk menjamin terlaksananya maksud Izin Lokasi sebagaimana dimaksud dalam peraturan penanaman modal termaksud di atas, perlu mengembalikan fungsi Izin Lokasi tersebut dan membatasinya untuk keperluan penanaman modal dengan menetapkan ketentuan umum mengenai Izin Lokasi dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional, | ||
Mengingat | : | 1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria; |
2. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1970; | ||
3. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1970; | ||
4. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pemerintahan di Daerah; | ||
5. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang; | ||
6. Peraaturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah; | ||
7. Peraaturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah; | ||
8. Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tentang Badan Pertanahan Nasional; | ||
9. Keputusan Presiden Nomor 97 Tahun 1993 tentang Tata Cara Penanaman Modal sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 115 Tahun 1998; | ||
10. Keputusan Presiden Nomor 101 Tahun 1998 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Menteri Negara; | ||
11. Keputusan Presiden Nomor 122/M Tahun 1998 tentang Kabinet Reformasi Pembangunan; | ||
Menetapkan | : | PERATURAN MENTERI NEGARA AGRARIA/KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL TENTANG IZIN LOKASI |
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Paraturan ini yang dimaksud dengan :
1. Izin Lokasi adalah izin yang diberikan kepada perusahaan untuk memperoleh tanah yang diperlukan dalam rangka penanaman modal yang berlaku pula sebagai izin pemindahan hak, dan untuk menggunakan tanah tersebut guna keperluan usaha penanaman modalnya.
2. Perusahaan adalah perseorangan atau badan hokum yang telah memperoleh izin untuk penanaman modal di Indonesia sesuai ketentuan yang berlaku.
3. Group perusahaan adalah dua atau lebih badan usaha yang sebagian sahamnya dimiliki oleh orang atau oleh badan hokum yang sama baik secara langsung maupun melalui badan hokum lain, dengan jumlah atau sifat pemilikan sedemikian rupa, sehingga melalui pemilikan saham tersebut dapat langsung atau tidak langsung menentukan penyelenggaraan atau jalannya badan usaha.
4. Penanaman modal adalah usaha menanamankan modal yang menggunakan maupun yang tidak menggunakan fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1970 dan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1970;
5. Hak atas tanah adalah hak-hak atas tanah sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 16 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960;
6. Kantor Pertanahan adalah Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya
Dalam Paraturan ini yang dimaksud dengan :
1. Izin Lokasi adalah izin yang diberikan kepada perusahaan untuk memperoleh tanah yang diperlukan dalam rangka penanaman modal yang berlaku pula sebagai izin pemindahan hak, dan untuk menggunakan tanah tersebut guna keperluan usaha penanaman modalnya.
2. Perusahaan adalah perseorangan atau badan hokum yang telah memperoleh izin untuk penanaman modal di Indonesia sesuai ketentuan yang berlaku.
3. Group perusahaan adalah dua atau lebih badan usaha yang sebagian sahamnya dimiliki oleh orang atau oleh badan hokum yang sama baik secara langsung maupun melalui badan hokum lain, dengan jumlah atau sifat pemilikan sedemikian rupa, sehingga melalui pemilikan saham tersebut dapat langsung atau tidak langsung menentukan penyelenggaraan atau jalannya badan usaha.
4. Penanaman modal adalah usaha menanamankan modal yang menggunakan maupun yang tidak menggunakan fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1970 dan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1970;
5. Hak atas tanah adalah hak-hak atas tanah sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 16 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960;
6. Kantor Pertanahan adalah Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya
Pasal 2
(1) Setiap perusahaan yang telah
memperoleh persetujuan penanaman modal wajib mempunyai Izin Lokasi untuk
memperoleh tanah yang diperlukan untuk melaksanakan rencana penanaman
modal yang bersangkutan, kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud pada
ayat (2)
(2) Izin Lokasi tidak diperlukan dan dianggap sudah dipunyai oleh perusahaan yang bersangkutan dalam hal :
a. tanah yang akan diperoleh merupakan pemasukan (inbreng) dari para pemegang saham,
b. tanah yang akan diperoleh merupakan tanah yang sudah dikuasai oleh perusahaan lain dalam rangka melanjutkan pelaksanaan sebagian atau seluruh rencana penanaman modal perusahaan lain tersebut, dan untuk itu telah diperoleh persetujuan dari instansi yang berwenang,
c. tanah yang akan diperoleh diperlakukan dalam rangka melaksanakan usaha industri dalam suatu Kawasan Industri,
d. tanah yang akan diperoleh berasal dari otorita atau badan penyelenggara pengembangan suatu kawasan sesuai dengan rencana tata ruang kawasan pengembangan tersebut,
e. tanah yang akan diperoleh diperlukan untuk perluasan usaha yang sudah berjalan untuk perluasan itu telah diperoleh izin perluasan usaha sesuai ketentuan yang berlaku, sedangkan letak tanah tersebut berbatasan dengan lokasi usaha yang bersangkutan,
f. tanah yang akan diperlukan untuk melaksanakan rencana penanaman modal tidak lebih dari 25 Ha (dua puluh lima hektar) untuk usaha pertanian atai tidak lebih dari 10.000 m2 (sepuluh ribu meter persegi) untuk usaha bukan pertanian, atau
g. tanah yang akan dipergunakan untuk melaksanakan rencana penanaman modal adalah tanah yang sudah dipunyai oleh perusahaan yang bersangkutan, dengan ketentuan bahwa tanah-tanah tersebut terletak di lokasi yang menurut Rencana Tata Ruang Wilayah yang berlaku diperuntukkan bagi penggunaan yang sesuai dengan rencana penanaman modal yang bersangkutan.
a. tanah yang akan diperoleh merupakan pemasukan (inbreng) dari para pemegang saham,
b. tanah yang akan diperoleh merupakan tanah yang sudah dikuasai oleh perusahaan lain dalam rangka melanjutkan pelaksanaan sebagian atau seluruh rencana penanaman modal perusahaan lain tersebut, dan untuk itu telah diperoleh persetujuan dari instansi yang berwenang,
c. tanah yang akan diperoleh diperlakukan dalam rangka melaksanakan usaha industri dalam suatu Kawasan Industri,
d. tanah yang akan diperoleh berasal dari otorita atau badan penyelenggara pengembangan suatu kawasan sesuai dengan rencana tata ruang kawasan pengembangan tersebut,
e. tanah yang akan diperoleh diperlukan untuk perluasan usaha yang sudah berjalan untuk perluasan itu telah diperoleh izin perluasan usaha sesuai ketentuan yang berlaku, sedangkan letak tanah tersebut berbatasan dengan lokasi usaha yang bersangkutan,
f. tanah yang akan diperlukan untuk melaksanakan rencana penanaman modal tidak lebih dari 25 Ha (dua puluh lima hektar) untuk usaha pertanian atai tidak lebih dari 10.000 m2 (sepuluh ribu meter persegi) untuk usaha bukan pertanian, atau
g. tanah yang akan dipergunakan untuk melaksanakan rencana penanaman modal adalah tanah yang sudah dipunyai oleh perusahaan yang bersangkutan, dengan ketentuan bahwa tanah-tanah tersebut terletak di lokasi yang menurut Rencana Tata Ruang Wilayah yang berlaku diperuntukkan bagi penggunaan yang sesuai dengan rencana penanaman modal yang bersangkutan.
(3)
Dalam hal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) perusahaan yang
bersangkutan memberitahukan rencana perolehan tanah dan atau penggunaan
tanah yang bersangkutan kepada Kantor Pertanahan.
BAB II
Pasal 3
Tanah yang dapat ditunjuk dalam Izin Lokasi adalah tanah yang menurut Rencana Tata Ruang Wilayah yang berlaku diperuntukkan bagi penggunaan yang sesuai dengan rencana penanaman modal yang akan dilaksanakan oleh perusahaan menurut persetujuan penanaman modal yang dipunyainya.
Tanah yang dapat ditunjuk dalam Izin Lokasi adalah tanah yang menurut Rencana Tata Ruang Wilayah yang berlaku diperuntukkan bagi penggunaan yang sesuai dengan rencana penanaman modal yang akan dilaksanakan oleh perusahaan menurut persetujuan penanaman modal yang dipunyainya.
Pasal 4
(1) Izin Lokasi dapat diberikan kepada
perusahaan yang sudah mendapat persetujuan penanaman modal sesuai
ketentuan yang berlaku untuk memperoleh tanah dengan luas tertentu
sehingga apabila perusahaan tersebut berhasil membebaskan seluruh areal
yang ditunjuk, maka luas penguasaan tanah oleh perusahaan tersebut dan
perusahaan-perusahaan lain yang merupakan satu group perusahaan
dengannya tidak lebih dari luasan sebagai berikut :
a. Untuk usaha pengembangan perumahan dan permukiman :
1) kawasan perumahan – pemukiman : 1 propinsi : 400 Ha
seluruh Indonesia : 4.000 Ha
2) kawasan resort – perhotelan : 1 propinsi : 200 Ha
seluruh Indonesia : 2.000 Ha
b.
a. Untuk usaha pengembangan perumahan dan permukiman :
1) kawasan perumahan – pemukiman : 1 propinsi : 400 Ha
seluruh Indonesia : 4.000 Ha
2) kawasan resort – perhotelan : 1 propinsi : 200 Ha
seluruh Indonesia : 2.000 Ha
b.
Untuk usaha kawasan Industri | : | 1 propinsi | : |
400 Ha
|
Seluruh Indonesia | : |
4.000 Ha
|
1) komoditas tebu | : | 1 propinsi | : |
60.00 Ha
|
Seluruh Indonesia | : |
150.000 Ha
|
||
2) komoditas lainnya | : | 1 propinsi | : |
20.000 Ha
|
Seluruh Indonesia | : |
100.000 Ha
|
1) Di P. Jawa | : | 1 propinsi | : |
100 Ha
|
Seluruh Indonesia | : |
1.000 Ha
|
||
2) Diluar P Jawa | : | 1 propinsi | : |
200 Ha
|
Seluruh Indonesia | : |
2.000 Ha
|
(2)
Khusus untuk Propinsi Daerah Tingkat I Irian Jaya maksimum luas
penguasaan tanah adalah dua kali maksimum luas penggunaan tanah untuk
satu Propinsi di luar Jawa sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3)
Untuk Keperluan menentukan luas areal yang ditunjuk dalam Izin Lokasi
perusahaan pemohon wajib menyampaikan pernyataan tertulis mengenai luas
tanah yang sudah dikuasai olehnya dan perusahaan-perusahaan lain yang
merupakan group dengannya.
(4) Ketentuan di dalam pasal ini tidak berlaku untuk :
a. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang berbentuk Perusahaan Umum (PERUM) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD);
b. Badan Usaha yang seluruh atau sebagian besar sahamnya dimiliki oleh Negara, baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah;
c. Badan Usaha yang seluruh atau sebagian besar sahamnya dimiliki oleh masyarakat dalam rangka “go public”.
a. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang berbentuk Perusahaan Umum (PERUM) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD);
b. Badan Usaha yang seluruh atau sebagian besar sahamnya dimiliki oleh Negara, baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah;
c. Badan Usaha yang seluruh atau sebagian besar sahamnya dimiliki oleh masyarakat dalam rangka “go public”.
BAB III
JANGKA WAKTU IZIN LOKASI
(1) Izin Lokasi diberikan untuk jangka waktu sebagai berikut :
a. Izin Lokasi seluas sampai dengan 25 Ha : 1 (satu) tahun;
b. Izin Lokasi seluas lebih dari 25 Ha s/d 50 Ha : 2 (dua) tahun;
c. Izin Lokasi seluas lebih dari 50 Ha : 3 (tiga) tahun.
(2) Perolehan tanah oleh pemegang Izin Lokasi harus diselesaikan dalam jangka waktu Izin Lokasi.
(3) Apabila dalam jangka waktu Izin Lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) perolehan tanah belum selesai, maka Izin Lokasi dapat diperpanjang jangka waktunya selama 1 (satu) tahun apabila tanah yang sudah diperoleh mencapai lebih dari 50% dari luas tanah yang ditunjuk dalam Izin Lokasi.
(4) Apabila perolehan tanah tidak dapat diselesaikan dalam jangka waktu Izin Lokasi, termasuk perpanjangannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3), maka perolehan tanah tidak dapat lagi dilakukan oleh pemegang Izin Lokasi dan terhadap bidang-bidang tanah yang sudah diperoleh dilakukan tindakan sebagai berikut :
a. dipergunakan untuk melaksanakan rencana penanaman modal dengan penyesuaian mengenai luas pembangunan, dengan ketentuan bahwa apabila diperlukan masih dapat dilaksanakan perolehan tanah sehingga diperoleh bidang tanah yang merupakan satu kesatuan bidang;
b. dilepaskan kepada perusahaan atau pihak lain yang memenuhi syarat.
a. Izin Lokasi seluas sampai dengan 25 Ha : 1 (satu) tahun;
b. Izin Lokasi seluas lebih dari 25 Ha s/d 50 Ha : 2 (dua) tahun;
c. Izin Lokasi seluas lebih dari 50 Ha : 3 (tiga) tahun.
(2) Perolehan tanah oleh pemegang Izin Lokasi harus diselesaikan dalam jangka waktu Izin Lokasi.
(3) Apabila dalam jangka waktu Izin Lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) perolehan tanah belum selesai, maka Izin Lokasi dapat diperpanjang jangka waktunya selama 1 (satu) tahun apabila tanah yang sudah diperoleh mencapai lebih dari 50% dari luas tanah yang ditunjuk dalam Izin Lokasi.
(4) Apabila perolehan tanah tidak dapat diselesaikan dalam jangka waktu Izin Lokasi, termasuk perpanjangannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3), maka perolehan tanah tidak dapat lagi dilakukan oleh pemegang Izin Lokasi dan terhadap bidang-bidang tanah yang sudah diperoleh dilakukan tindakan sebagai berikut :
a. dipergunakan untuk melaksanakan rencana penanaman modal dengan penyesuaian mengenai luas pembangunan, dengan ketentuan bahwa apabila diperlukan masih dapat dilaksanakan perolehan tanah sehingga diperoleh bidang tanah yang merupakan satu kesatuan bidang;
b. dilepaskan kepada perusahaan atau pihak lain yang memenuhi syarat.
BAB IV
TATA CARA PEMBERIAN IZIN LOKASI
Pasal 6
(1) Izin Lokasi diberikan berdasarkan peritmbangan mengenai aspek penguasaan tanah dan tata guna tanah yang meliputi keadaan hak serta penguasaan tanah yang bersangkutan, penilaian fisik wilayah, penggunaan tanah, serta kemampuan tanah.
(2) Surat keputusan pemberian Izin Lokasi ditandatangani oleh Bupati/Walikotamadya atau, untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta, oleh Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta diadakan rapat koordinasi antar instansi terkait, yang dipimpin oleh Bupati/Walikotamadya atau, untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta, oleh Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta, atau oleh pejabat yang ditunjuk secara tetap olehnya.
(3) Bahan-bahan untuk keperluan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan rapat koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipersiapkan oleh Kepala Kantor Pertanahan.
(4) Rapat koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disertai konsultasi dengan masyarakat pemegang hak atas tanah dalam lokasi yang dimohon.
(5) Konsiltasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi empat aspek sebagai berikut :
a. Penyebarluasan informasi mengenai rencana penanaman modal yang akan dilaksanakan, ruang lingkup dampaknya dan rencana perolehan tanah serta penyelesaian masalah yang berkenaan dengan perolehan tanah tersebut;
b. Pemberian kesempatan kepada pemegang hak atas tanah untuk memperoleh penjelasan tentang rencana penanaman modal dan mencari alternatif pemecahan masalah yang ditemui;
c. Ppengumpulan informasi langsung dari masyarakat untuk memperoleh data social dan lingkungan yang diperlukan;
d. Peran serta masyarakat berupa usulan tentang alternatif bentuk dan besarnya ganti kerugian dalam perolehan tanah dalam pelaksanaan Izin Lokasi.
(1) Izin Lokasi diberikan berdasarkan peritmbangan mengenai aspek penguasaan tanah dan tata guna tanah yang meliputi keadaan hak serta penguasaan tanah yang bersangkutan, penilaian fisik wilayah, penggunaan tanah, serta kemampuan tanah.
(2) Surat keputusan pemberian Izin Lokasi ditandatangani oleh Bupati/Walikotamadya atau, untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta, oleh Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta diadakan rapat koordinasi antar instansi terkait, yang dipimpin oleh Bupati/Walikotamadya atau, untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta, oleh Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta, atau oleh pejabat yang ditunjuk secara tetap olehnya.
(3) Bahan-bahan untuk keperluan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan rapat koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipersiapkan oleh Kepala Kantor Pertanahan.
(4) Rapat koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disertai konsultasi dengan masyarakat pemegang hak atas tanah dalam lokasi yang dimohon.
(5) Konsiltasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi empat aspek sebagai berikut :
a. Penyebarluasan informasi mengenai rencana penanaman modal yang akan dilaksanakan, ruang lingkup dampaknya dan rencana perolehan tanah serta penyelesaian masalah yang berkenaan dengan perolehan tanah tersebut;
b. Pemberian kesempatan kepada pemegang hak atas tanah untuk memperoleh penjelasan tentang rencana penanaman modal dan mencari alternatif pemecahan masalah yang ditemui;
c. Ppengumpulan informasi langsung dari masyarakat untuk memperoleh data social dan lingkungan yang diperlukan;
d. Peran serta masyarakat berupa usulan tentang alternatif bentuk dan besarnya ganti kerugian dalam perolehan tanah dalam pelaksanaan Izin Lokasi.
Pasal 7
(1)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian Izin Lokasi
ditetapkan oleh Bupati/Walikotamadya atau, untuk Daerah Khusus Ibukota
Jakarta, oleh Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
(2) Sebelum ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan pemberian Izin Lokasi dilaksanakan menurut Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan nomor 2 Tahun 1993 tentang Tata Cara Memperoleh Izin Lokasi dan Hak Atas Tanah Dalam Rangka Penanaman Modal dan ketentuan pelaksanaannya dengan penyesuaian seperlunya dengan ketentuan dalam peraturan ini.
(2) Sebelum ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan pemberian Izin Lokasi dilaksanakan menurut Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan nomor 2 Tahun 1993 tentang Tata Cara Memperoleh Izin Lokasi dan Hak Atas Tanah Dalam Rangka Penanaman Modal dan ketentuan pelaksanaannya dengan penyesuaian seperlunya dengan ketentuan dalam peraturan ini.
BAB V
HAK DAN KEWAJIBAN PEMEGANG IZIN LOKASI
Pasal 8
(1) Pemegang Izin Lokasi diizinkan untuk membebaskan tanah dalam areal Izin Lokasi dari hak dan kepentingan pihak lain berdasarkan kesepakatan dengan pemegang hak atai pihak yang mempunyai kepentingan tersebut dengan cara jual beli, pemberian ganti kerugian, konsolidasi tanah atau cara lain sesuai ketentuan yang berlaku.
(2) Sebelum tanah yang bersangkutan dibebaskan oleh pemegang Izin Lokasi sesuai ketentuan pada ayat (1), maka semua hak atau kepentingan pihak lain yang sudah ada atas tanah yang bersangkutan tidak berkurang dan tetap diakui, termasuk kewenangan yang menurut hokum dipunyai oleh pemegang hak atas tanah untuk memperoleh tanda bukti hak (sertifikat), dan kewenangan untuk menggunakan dan memanfaatkan tanahnya bagi keperluan pribadi atau usahanya sesuai rencana tata ruang yang berlaku, serta kewenangan untuk mengalihkannya kepada pihak lain.
(3) Pemegang tanah yang bersangkutan dibebaskan dari pihak-pihak lain atas tanah yang belum dibebaskan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak menutup atau mengurangi aksebilitas yang dimiliki masyarakat di sekitar lokasi, dan menjaga serta melindungi kepantingan umum.
(4) Sesudah tanah yang bersangkutan dibebaskan dari hak dan kepentingan pihak lain, maka kepada pemegang Izin Lokasi dapat diberikan hak atas tanah yang memberikan kewenangan kepadanya untuk menggunakan tanah tersebut sesuai dengan keperluan untuk melaksanakan rencana penanaman modalnya.
(1) Pemegang Izin Lokasi diizinkan untuk membebaskan tanah dalam areal Izin Lokasi dari hak dan kepentingan pihak lain berdasarkan kesepakatan dengan pemegang hak atai pihak yang mempunyai kepentingan tersebut dengan cara jual beli, pemberian ganti kerugian, konsolidasi tanah atau cara lain sesuai ketentuan yang berlaku.
(2) Sebelum tanah yang bersangkutan dibebaskan oleh pemegang Izin Lokasi sesuai ketentuan pada ayat (1), maka semua hak atau kepentingan pihak lain yang sudah ada atas tanah yang bersangkutan tidak berkurang dan tetap diakui, termasuk kewenangan yang menurut hokum dipunyai oleh pemegang hak atas tanah untuk memperoleh tanda bukti hak (sertifikat), dan kewenangan untuk menggunakan dan memanfaatkan tanahnya bagi keperluan pribadi atau usahanya sesuai rencana tata ruang yang berlaku, serta kewenangan untuk mengalihkannya kepada pihak lain.
(3) Pemegang tanah yang bersangkutan dibebaskan dari pihak-pihak lain atas tanah yang belum dibebaskan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak menutup atau mengurangi aksebilitas yang dimiliki masyarakat di sekitar lokasi, dan menjaga serta melindungi kepantingan umum.
(4) Sesudah tanah yang bersangkutan dibebaskan dari hak dan kepentingan pihak lain, maka kepada pemegang Izin Lokasi dapat diberikan hak atas tanah yang memberikan kewenangan kepadanya untuk menggunakan tanah tersebut sesuai dengan keperluan untuk melaksanakan rencana penanaman modalnya.
Pasal 9
Pemegang Izin Lokasi berkewajiban untuk
melaporkan secara berkala setiap 3(tiga) bulan kepada Kepala Kantor
Pertanahan mengenai perolehan tanah yang sudah dilaksanakan berdasarkan
Izin Lokasi dan pelaksanaan penggunaan tanah tersebut.
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 10
Izin Lokasi yang sudah dikeluarkan sebelum berlakunya peraturan ini tetap berlaku sampai jangka waktunya habis, dengan ketentuan bahwa apabila Izin Lokasi tersebut menunjuk areal yang melebihi luas tertentu sebagaimana dimaksud dalam pasal 4, maka Izin Lokasi itu hanya dapat dileksanakan sesudah berlakunya peraturan ini untuk luas areal yang sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 4 tersebut.
Izin Lokasi yang sudah dikeluarkan sebelum berlakunya peraturan ini tetap berlaku sampai jangka waktunya habis, dengan ketentuan bahwa apabila Izin Lokasi tersebut menunjuk areal yang melebihi luas tertentu sebagaimana dimaksud dalam pasal 4, maka Izin Lokasi itu hanya dapat dileksanakan sesudah berlakunya peraturan ini untuk luas areal yang sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 4 tersebut.
Pasal 11
Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 10 Pebruari 1999
MENTERI NEGARA AGRARIA/
KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL
Keputusan Menteri Kehutanan & Perkebunan Nomor P. 31/MenhutII/2009 ttg Pelepasan Kawasan Hutan dalam Rangka Pengembangan Usaha Budidaya Perkebunan
PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : P.22/Menhut-II/2009
TENTANG
PERUBAHAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR P. 31/MenhutII/2005 TENTANG PELEPASAN KAWASAN HUTAN DALAM RANGKA
PENGEMBANGAN USAHA BUDIDAYA PERKEBUNAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,
NOMOR : P.22/Menhut-II/2009
TENTANG
PERUBAHAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR P. 31/MenhutII/2005 TENTANG PELEPASAN KAWASAN HUTAN DALAM RANGKA
PENGEMBANGAN USAHA BUDIDAYA PERKEBUNAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa berdasarkan Peraturan Menteri
Kehutanan Nomor P. 31/Menhut-II/2005 telah ditetapkan ketentuan tentang
pelepasan kawasan hutan dalam rangka pengembangan usaha
budidaya perkebunan;
b. bahwa berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor P. 26/Permentan/OT.140/2/2007 telah ditetapkan ketentuan pedoman perizinan usaha perkebunan, yang antara lain mengatur bahwa batas paling luas areal perkebunan untuk 1 (satu) perusahaan perkebunan untuk komuditas antara lain kelapa sawit adalah 100.000 (seratus ribu) hektar dan untuk tebu 150.000 (seratus lima puluh ribu) hektar;
c. bahwa dengan adanya perkembangan usaha di bidang perkebunan, ketentuan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 31/MenhutII/2005 sebagaimana dimaksud pada huruf a, perlu disesuaikan lagi;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf c, maka perlu menetapkan Peraturan Menteri Kehutanan tentang Perubahan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 31/Menhut-II/2005 tentang Pelepasan Kawasan Hutan Dalam Rangka Pengembangan Usaha Budidaya Perkebunan;
b. bahwa berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor P. 26/Permentan/OT.140/2/2007 telah ditetapkan ketentuan pedoman perizinan usaha perkebunan, yang antara lain mengatur bahwa batas paling luas areal perkebunan untuk 1 (satu) perusahaan perkebunan untuk komuditas antara lain kelapa sawit adalah 100.000 (seratus ribu) hektar dan untuk tebu 150.000 (seratus lima puluh ribu) hektar;
c. bahwa dengan adanya perkembangan usaha di bidang perkebunan, ketentuan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 31/MenhutII/2005 sebagaimana dimaksud pada huruf a, perlu disesuaikan lagi;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf c, maka perlu menetapkan Peraturan Menteri Kehutanan tentang Perubahan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 31/Menhut-II/2005 tentang Pelepasan Kawasan Hutan Dalam Rangka Pengembangan Usaha Budidaya Perkebunan;
Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990
tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3419);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3699);
3. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor
167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3888), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004
Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412);
Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412);
4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2008 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437),
yang telah diubah beberapa kali, terakhir dengan UndangUndang Nomor 12
Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
5. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725)
6. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun
2004 tentang Perencanaan Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 146, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4452);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun
2004 tentang Perlindungan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4453);
8. Peraturan Pemerintan Nomor 6 Tahun
2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta
Pemanfaatan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4696),
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 16, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4814);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun
2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 48, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4833);
10. Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun
2004 yang telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Keputusan
Presiden Nomor 31/P Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabinet Indonesia
Bersatu;
11. Keputusan Bersama Menteri Kehutanan,
Menteri Pertanian dan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor
364/Kpts-II/1990, Nomor 519/Kpts/HK.050/90, Nomor23-VIII-1990 tentang
Ketentun Pelepasan Kawasan Hutan dan Pemberian Hak Guna Usaha
untuk Pengembangan Usaha Pertanian;
12. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 32/Kpts-II/2001 tentang Kriteria dan Standar Pengukuhan Kawasan Hutan;
13. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor
70/Kpts-II/2001 tentang Penetapan Kawasan Hutan, Perubahan Status dan
Fungsi Kawasan Hutan yang telah diubah dengan Keputusan Menteri
Kehutanan Nomor SK. 48/Kpts-II/2004;
14. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor
146/Kpts-II/2003 tentang Pedoman Evaluasi Penggunaan Kawasan Hutan/Ex
Kawasan Hutan Untuk Pengembangan Usaha Budidaya Perkebunan;
15. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.382/Menhut-II/2004 tentang Izin Pemanfaatan Kayu (IPK);
16. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.
13/Menhut-II/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen
Kehutanan yang telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan
Menteri Kehutanan Nomor P.64/Menhut-II/2008 (Berita Negara Republik
Indonesia Nomor 80 Tahun 2008);
17. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.
31/Menhut-II/2005 tentang Pelepasan Kawasan Hutan Dalam Rangka
Pengembangan Usaha Budidaya Perkebunan;
18. Peraturan Menteri Pertanian Nomor P. 26/Permentan/OT.140/2/2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEHUTANAN TENTANG PERUBAHAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR P. 31/MenhutII/2005 TENTANG PELEPASAN KAWASAN HUTAN DALAM RANGKA PENGEMBANGAN USAHA BUDIDAYA PERKEBUNAN.
Pasal I
Mengubah ketentuan Pasal 4 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 31/MenhutII/2005 tentang Pelepasan Kawasan Hutan Dalam Rangka Pengembangan Usaha Budidaya Perkebunan, sehingga berbunyi sebagai berikut :
Mengubah ketentuan Pasal 4 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 31/MenhutII/2005 tentang Pelepasan Kawasan Hutan Dalam Rangka Pengembangan Usaha Budidaya Perkebunan, sehingga berbunyi sebagai berikut :
Pasal 4
(1) Luas kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi yang dilepaskan untuk budidaya perkebunan diberikan :
a. paling banyak 100.000 (seratus ribu) hektar, untuk satu perusahaan atau group perusahaan, dengan ketentuan diberikan secara bertahap dengan luas paling banyak 20.000 (dua puluh ribu) hektar dan pemberian berikutnya setelah dilakukan evaluasi pelaksanaan pada tahap sebelumnya;
b. untuk Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, paling banyak 200.000 (dua ratus ribu) hektar untuk satu perusahaan atau group perusahaan, dengan
ketentuan diberikan secara bertahap dengan luas paling banyak 40.000 (empat puluh ribu) hektar dan pemberian berikutnya setelah dilakukan evaluasi pelaksanaan pada tahap sebelumnya.
(2) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b, dilakukan dengan evaluasi administrasi dan atau evaluasi lapangan terhadap proses pengurusan Hak Guna Usaha dan adanya aktivitas kegiatan fisik di lapangan.
a. paling banyak 100.000 (seratus ribu) hektar, untuk satu perusahaan atau group perusahaan, dengan ketentuan diberikan secara bertahap dengan luas paling banyak 20.000 (dua puluh ribu) hektar dan pemberian berikutnya setelah dilakukan evaluasi pelaksanaan pada tahap sebelumnya;
b. untuk Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, paling banyak 200.000 (dua ratus ribu) hektar untuk satu perusahaan atau group perusahaan, dengan
ketentuan diberikan secara bertahap dengan luas paling banyak 40.000 (empat puluh ribu) hektar dan pemberian berikutnya setelah dilakukan evaluasi pelaksanaan pada tahap sebelumnya.
(2) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b, dilakukan dengan evaluasi administrasi dan atau evaluasi lapangan terhadap proses pengurusan Hak Guna Usaha dan adanya aktivitas kegiatan fisik di lapangan.
Pasal II
(1) Dengan ditetapkannya Peraturan Menteri Kehutanan ini, maka :
a. Ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 31/Menhut-II/2005, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan ini.
b. Ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 728/Kpts-II/1998 tentang Luas Maksimum Pengusahaan Hutan dan Pelepasan Kawasan Hutan Untuk Budidaya Perkebunan, yang terkait dengan pengaturan pembatasan luas pelepasan kawasan hutan untuk budidaya perkebunan, antara lain Pasal 4 huruf b, huruf c, dan huruf d, dinyatakan tidak
berlaku.
(2) Peraturan Menteri Kehutanan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, Peraturan Menteri Kehutanan ini diundangkan dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
a. Ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 31/Menhut-II/2005, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan ini.
b. Ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 728/Kpts-II/1998 tentang Luas Maksimum Pengusahaan Hutan dan Pelepasan Kawasan Hutan Untuk Budidaya Perkebunan, yang terkait dengan pengaturan pembatasan luas pelepasan kawasan hutan untuk budidaya perkebunan, antara lain Pasal 4 huruf b, huruf c, dan huruf d, dinyatakan tidak
berlaku.
(2) Peraturan Menteri Kehutanan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, Peraturan Menteri Kehutanan ini diundangkan dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 1 April 2009
MENTERI KEHUTANAN
REPUBLIK INDONESIA,
pada tanggal 1 April 2009
MENTERI KEHUTANAN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
H. M.S. KABAN
H. M.S. KABAN
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 7 April 2009
MENTERI HUKUM DAN HAM
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
ANDI MATTALATTA
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 60
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Biro Hukum dan Organisasi
ttd
SUPARNO, SH
NIP. 19500514 198303 1 001
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
ANDI MATTALATTA
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 60
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Biro Hukum dan Organisasi
ttd
SUPARNO, SH
NIP. 19500514 198303 1 001
(14/Permentan/PL.110/2/2009) Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut utk Sawit
MENTERI PERTANIAN
REPUBLIKINDONESIA
PERATURAN MENTERI PERTANIAN
NOMOR : 14/Permentan/PL.110/2/2009
TENTANG
PEDOMAN PEMANFAATAN LAHAN GAMBUT UNTUK BUDIDAYA KELAPA SAWIT
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI PERTANIAN,
Menimbang :a. bahwa perkebunan kelapa sawit merupakan salah satu sumber dalam penyediaan devisa dan peningkatan kesejahteraan masyarakat;
b. bahwa lahan gambut memiliki peran penting terhadap kelestarian lingkungan dalam kehidupan yang dapat dimanfaatkan untuk budidaya kelapa sawit;
c. bahwa pemanfaatan lahan gambut untuk budidaya kelapa sawit dapat dilakukan dengan memperhatikan karakteristik lahan gambut sehingga tidak menimbulkan kerusakan fungsi lingkungan;
d. bahwa atas dasar hal-hal tersebut di atas dan untuk pengusahaan budidaya kelapa sawit di lahan gambut tidak menimbulkan kerusakan fungsi lingkungan, dipandang perlu menetapkan pedoman pemanfaatan lahan gambut untuk budidaya kelapa sawit;
Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043);
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3419);
3. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3478);
4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
5. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3888); 2
6. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara Tahun 2004, Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4377);
7. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4411);
8. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839) juncto Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 (Lembaran Negara Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4548);
9. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4725);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3838);
11. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4737);
12. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (Lembaran Negara Tahun 2008 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4833);
13. Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung;
14. Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004 tentang Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu;
15. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia;
16. Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2005 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Kementerian Negara Republik Indonesia, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2005;
17. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 299/Kpts/OT.140/7/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Pertanian, juncto Peraturan Menteri Pertanian Nomor 11/Permentan/ OT.140/2/2007;
18. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 341/Kpts/OT.140/9/2005 tentang Kelengkapan Organisasi dan Tata Kerja Departemen Pertanian, juncto Peraturan Menteri Pertanian Nomor 12/Permentan/OT.140/2/2007;
19. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26/Permentan/OT.140/2/2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan;
Memerhatikan : Hasil Kajian Tim Konsorsium Penelitian Kesesuaian Ekologis
Pada Lahan Gambut Untuk Pembangunan Pertanian
Berkelanjutan Tahun 2008;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI PERTANIAN TENTANG PEDOMANPEMANFAATAN LAHAN GAMBUT UNTUK BUDIDAYA KELAPA
SAWIT.
Pasal 1
Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut Untuk Budidaya Kelapa Sawit sepertitercantum pada Lampiran sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan ini.
Pasal 2
Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut Untuk Budidaya Kelapa Sawit sebagaimanadimaksud dalam Pasal 1, dimaksudkan sebagai dasar hukum bagi pemerintah
daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota dalam pelayanan pemberian
perizinan usaha perkebunan dengan memanfaatkan lahan gambut, dan sebagai
acuan bagi pemangku kepentingan.
Pasal 3
Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut Untuk Budidaya Kelapa Sawit sebagaimanadimaksud dalam Pasal 2 bertujuan untuk meningkatkan kelancaran pelayanan
pelaksanaan pengembangan budidaya kelapa sawit di lahan gambut, dan
memberikan kepastian usaha budidaya kelapa sawit di lahan gambut.
Pasal 4
(1) Perusahaan perkebunan kelapa sawit yang memanfaatkan lahan gambutsebelum Peraturan ini ditetapkan telah memperoleh Izin Usaha Perkebunan (IUP)
atau Surat Pendaftaran Usaha Perkebunan (SPUP) dinyatakan masih tetap
berlaku sampai dengan Hak Guna Usaha (HGU) atau hak lainnya berakhir.
(2) Perusahaan perkebunan kelapa sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam melakukan kegiatan usaha harus disesuaikan dengan ketentuan dalam Peraturan ini.
(3) Permohonan izin usaha atau pendaftaran usaha perkebunan kelapa sawit dengan memanfaatkan lahan gambut yang sedang dalam proses sejak peraturan ini ditetapkan belum diterbitkan IUP atau SPUP, harus mengikuti ketentuan dalam Peraturan ini.
Pasal 5
Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri
Pertanian ini dengan penempatannya dalam Berita Negara RepublikIndonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal : 16 Pebruari 2009
MENTERI PERTANIAN,
TTD
ANTON APRIYANTONO 5
Lampiran Peraturan Menteri Pertanian
Nomor :14/Permentan/PL.110/2/2009
Keputusan Menteri Kehutanan & Perkebunan Nomor 376/Kpts-II/1998 Tentang Kriteria Penyediaan Areal Hutan Utk Perkebunan Budidaya Kelapa Sawit
KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN Nomor : 376/Kpts-II/1998
KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN
Nomor : 376/Kpts-II/1998
Nomor : 376/Kpts-II/1998
TENTANG
KRITERIA PENYEDIAAN AREAL HUTAN UNTUK PERKEBUNAN BUDIDAYA KELAPA SAWIT
MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN,
Menimbang :
- bahwa berdasarkan Keputusan Bersama Menteri Kehutanan, Menteri Pertanian dan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 364/Kpts-II/1990, Nomor 519/Kpts/HK.050/7/1990 dan Nomor 23-VIII-1990 telah ditetapkan Ketentuan Pelepasan Kawasan Hutan dan Pemberian Hak Guna Usaha untuk Pengembangan Usaha Pertanian;
- bahwa untuk pelaksanaan lebih lanjut ketentuan Pasal 2 dari Keputusan Bersama sebagaimana tersebut dalam butir a, dipandang perlu menetapkan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan tentang Kriteria Penyediaan Areal Hutan untuk Perkebunan Kelapa Sawit.
Mengingat :
- Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960;
- Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967;
- Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990;
- Undang-undang Nomor 12 Tahun 1992;
- Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992;
- Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 1984 jo
Keputusan Presiden Nomor 58 Tahun 1993; - Keputusan Presiden Nomor 62/M Tahun 1998;
- Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 1998;
- Keputusan Bersama Menteri Kehutanan, Menteri Pertanian dan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 364/Kpts-II/1990, Nomor 519/Kpts/HK.050/7/1990 dan Nomor 23-VIII-1990;
- Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 677/Kpts-II/1993;
- Keputusan Bersama Menteri Pertanian dan Menteri Negara Penggerak Dana Investasi/Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 72/Kpts/PM.350/2/98 dan Nomor 04/SK/1998.
MEMUTUSKAN :
- Menetapkan :
- KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN TENTANG KRITERIA PENYEDIAAN AREAL HUTAN UNTUK PERKEBUNAN BUDIDAYA KELAPA SAWIT
Pasal 1
Kawasan hutan yang dapat dilepaskan menjadi usaha perkebunan budidaya
kelapa sawit adalah kawasan hutan yang berdasarkan kesesuaian lahannya
cocok untuk perkebunan budidaya kelapa sawit.
Pasal 2
Kesesuaian lahan yang cocok untuk
perkebunan budidaya kelapa sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
dengan kriteria sebagai brikut:
- Kelerengan max 25%.
- Ketinggian 0-300 m dpl.
- Curah hujan 1750-4000 mm/tahun dengan rata-rata bulan kering per tahun 0-3 bulan.
- Kedalaman efektif tanah:
- untuk tanah mineral > 100 cm
- untuk ketebalan tanah gambut
- Temperatur rata-rata per tahun 24 – 29 C.
Pasal 3
Kawasan hutan yang dapat dilepaskan menjadi perkebunan budidaya kelapa sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dengan kriteria:
- Berdasarkan Rencana Tata Ruang Propinsi berada pada kawasan budidaya non kehutanan.
- Tidak dibebani hak.
- Pulau kecil yang luasnya kurang dari 10 km2 tidak termasuk yang dapat dilepaskan.
- Diprioritaskan pada lahan kosong atau terbuka berdasarkan citra landsat yang terbaru.
- Minimal luas areal 10.000 hektar.
Pasal 4
Dengan ditetapkannya Keputusan ini, maka
usulan pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan budidaya kelapa sawit
pada tingkat permohonan agar disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan
sebagaimana diatur dalam keputusan ini.
Pasal 5
Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : J A K A R T A
Pada tanggal : 8 April 1998
Pada tanggal : 8 April 1998
MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN,
ttd.
Ir. SUMAHADI, MBA
ttd.
Ir. SUMAHADI, MBA
Salinan sesuai dengan aslinya
KEPALA BIRO HUKUM DAN ORGANISASI
Ttd.
YB. WIDODO SUTOYO, SH.MM.MBA.
NIP. 080023934
KEPALA BIRO HUKUM DAN ORGANISASI
Ttd.
YB. WIDODO SUTOYO, SH.MM.MBA.
NIP. 080023934
Salinan Keputusan ini
Disampaikan kepada Yth. :
Disampaikan kepada Yth. :
- Sdr. Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri/Kepala Bappenas.
- Sdr. Menteri Dalam Negeri.
- Sdr. Menteri Pertanian.
- Sdr. Menteri Perindustrian dan Perdagangan.
- Sdr. Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional.
- Sdr. Menteri Negara Investasi/Kepala BKPM.
- Sdr. Pejabat Eselon I lingkup Departemen Kehutanan dan Perkebunan.
- Sdr. Gubernur Kepala Daerah Tingkat I di seluruh Indonesia.
- Sdr. Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehutanan dan Perkebunan Propinsi di seluruh Indonesia.
- Sdr. Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional di seluruh Indonesia.
- Sdr. Kepala Dinas Perkebunan Daerah Tingkat I di seluruh Indonesia.
Copyright 2009 Kementerian Kehutanan Republik Indonesia
Aturan mengakomodasi kelapa sawit sebagai tanaman hutan dicabut
JAKARTA. Setelah menuai kecaman,
Kementerian Kehutanan akhirnya mencabut Peraturan Menteri yang
mengakomodasikan kelapa sawit sebagai tanaman hutan. Sekretaris Jenderal
Kementerian Kehutanan Hadi Daryanto mengungkapkan, pencabutan itu
lantaran banyak pro dan kontra.
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 62
Tahun 2011 tentang Pedoman Pembangunan Hutan Tanaman Berbagai Jenis pada
Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Industri
(IUPHHK/HTI) dikeluarkan 25 Agustus 2011 lalu dan baru diundangkan pada 6
September lalu. Salah satu kecaman karena peraturan ini dianggap dapat
melegalkan operasi perkebunan sawit ilegal yang izinnya bermasalah
secara hukum.
Bila aturan ini dicabut, Hadi
mengatakan, pemerintah akan menggunakan kembali Keputusan Menteri
Kehutanan dan Perkebunan Nomor 614 tahun 1999 tentang Pedoman
Pembangunan Hutan Tanaman Campuran.
Rencana itu menimbulkan pertanyaan dari
pengusaha sawit. Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit
Indonesia (Gapki) M. Fadhil Hasan beranggapan Kementerian Kehutana
terkesan tidak matang dalam membuat peraturan tersebut. “Apakah tidak
menimbulaan penurunan kredibilitas,” ucap Fadhil, Jumat (23/9).
Dia sendiri mendukung kelapa sawit masuk
ke dalam tanaman hutan. “Seharusnya aturan ini bagus untuk ke depan
karena ada legalnya, tapi kenapa hanya ada protes ini dicabut,” katanya.
Sebelumnya, Greenpeace mengecam
keluarnya Peraturan Menteri Kehutanan itu. Sebab aturan tersebut
berpotensi menambah kerusakan hutan gambut serta memperbanyak emisi
karbon.
Peraturan Perundangan Yang terkait dgn Pengembangan Perkebunan Kelapa Sawit
Berikut ini adalah berbagai daftar Peraturan Perundang-undangan pemerintah yang dapat digunakan sebagai dasar tatacara untuk pengembangan system pembangunan yang berhubungan dengan perkebunan kelapa sawit di Indonesia:
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Langganan:
Postingan (Atom)