A. Latar Belakang
Pola tanam perkebunan kelapa sawit (Elaeis quineensis jacq) di Indonesia yang bersifat monokultur sangat mempengaruhi tingkat serangan hama. Hama dapat berkembang dengan pesat dengan pola tanam secara monokultur, karena makanan akan tersedia melimpah setiap saat untuk mendukung perkembangan populasi hama dan kelangsungan hidupnya.
Hama dan penyakit merupakan salah satu faktor penghambat peningkatan produksi kelapa sawit di Indonesia. Pengendalian hama penyakit masih terlalu mengandalkan penggunaan pestisida, sehingga belum memberikan hasil yang memuaskan karena penekanan populasi bersifat sementara dan dapat mencemari lingkungan (Isroni,2004)
Permasalahan hama O.rhinoceros semakin menjadi lebih penting diakibatkan pemberlakuan system zero burning pada replanting atau peremajaan tanaman tua. Batang tanaman kelapa sawit yang telah terserang penyakit busuk pangkal batang (Ganoderma) tetapi masih tegak berdiri, merupakan tempat yang sangat sesuai untuk perkembang biakan O.rhinoceros. (PPKS, 1996). Tanaman kelapa sawit mati oleh genoderma yang masih tegak berdiri, yang kemudian dirumpuk bersamaan dengan batang tanaman lainnya, dan diselimuti oleh tanaman kacangan, akan membuat suasana lingkungan perkembang biakan O.rhinoceros semakin mendukung. Ini merupakan suatu sistem peremajaan yang menimbulkan kerawanan akan serangan hama O.rhinoceros secara kesinambungan (PPKS,2005)
Aplikasi tandan kosong kelapa sawit pada Tanaman kelapa sawit Belum Menghasilkan (TBM) dan Tanaman Menghasilkan (TM) memberikan dampak yang negativ, yaitu sebagai tempat perkembang biakan O.rhinoceros , akibatnya pupolasi kumbang akan meningkat dan menimbulkan kerusakan yang lebih serius pada tanaman sekitarnya (Sudharto Ps et al,2000).
Kumbang tanduk (Oryctes rhinoceros) merupakan hama utama yang menyerang tanaman kelapa sawit muda, terutama pada areal peremajaan kelapa sawit, Kumbang tanduk (Oryctes rhinoceros) memakan pangkal daun muda yang masih berbentuk tombak, dimakan dari bagian atas kebagian bawah, membentuk terowongan dan setelah daun berkembang terlihat bentuk daun yang tidak beraturan (Soepadiyo dan Haryono, 2000)
Kumbang dewasa (imago) aktif pada malam hari, terbang dari tempat pembiakan dan pindah dari satu tanaman ke tanaman lainnya. Kumbang O rhinoceros menggerek pucuk tanaman dan menyebabkan kerusakan disekitar titik tumbuh, sehingga menyebabkan malformasi pada pupus. Pada areal serangan berat, hampir semua tanaman diserang oleh kumbang ini, bahkan satu tanaman dapat digerek beberapa kali, sehingga dapat menyebabkan kematian tanaman (Soepadiyo dan Haryono, 2000). Akibat dari serangan hama ini yaitu antara lain memperpanjang masa tanaman yang belum menghasilkan (TBM), karena pertumbuhan tanaman terhambat (Purba,R,S.Prawirosakarto dan R.D. Chenon. 1992)
Pengendalian O.rhinoceros dengan insektisida granular mempunyai kelemahan antara lain mahal dan mencemari lingkungan, sedangkan cara pengutipan dengan tangan membutuhkan tenaga yang relatif banyak (Susanto,2006). Oleh karena itu perlu dilakukan pengendalian scara hayati.
Pengendalian secara hayati ialah penggunaan bentuk kehidupan untuk mengatasi bentuk kehidupan lain yang menimbulkan kerugian (Hama), pengendalian hayati dalam berbagai segi memiliki kelebihan apabila dibandingkan dengan pengendalian lainnya, kelebihannya yaitu dari segi ekonomi, segi ekologi, segi efikasi dan segi efesiensi. Segi ekonomi yaitu untuk keperluan jangka pendek usaha pengendalian hayati tidak menguntungkan. Sebab pada permulaan usaha memang diperlukan biaya yang relatif tinggi, namun untuk jangka waktu yang panjang, terutama apabila sarana pengendalian hayati telah mapan dan berkembang biak dengan baik, keberhasilan itu akan berlangsung terus. Dari segi ekonomi, disamping dalam jangka panjang cukup murah, pengendalian hayati mempunyai kelebihan dalam hal kecilnya dampak negatip terhadap lingkungan. Dari segi efikasi, efikasi yang bersifat mutlak memang tidak pernah ada dalam pengendalian hayati Tetapi berdasarkan batas kemampuan suatu sasaran pengendalian hayati dapat menekan populasi inangnya dan jangkauan penyebaran dapat lebih luas. Segi efesiensi, segi ini erat hubungannya dengan segi efikasi. Dalam hal menghadapi sasaran yang sulit dicapai dengan cara kimiawi dan mekanik. (Soeparto dan Eddy Mahrub,1983)
Penggunaan cendawan M. anisopliae ini sangat efektip dalam menekan larva O. rhinoceros, dapat dikembangkan dengan cara yang cepat dalam jumlah yang besar, baik secara alami berupa larva O. rhinoceros yang sudah terinfeksi maupun dengan media buatan dari jagung, beras dan gandum (Susilo.dkk,1993)
B. Perumusan masalah
M. anisopliae telah berhasil ditumbuhkan pada media tepung beras, singkong dan ampas tahu namun, untuk pengendalian O. rhinoceros perlu dilakukan uji efikasi.
C. Tujuan penelitian
Mengetahui efektivitas cendawan M. anisopliae yang dibiakan pada media tepung beras, singkong dan ampas tahu untuk Mengendalikan Larva Kumbang Badak (Orytes Rinosairos) di lapangan.
D. Manfaat penelitian
1. Memutus siklus larva O hinosairos
2. Mampu mengurangi penggunaan pestisida kimia yang dapat mencemari lingkungan
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Kelapa Sawit
Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis, Jacq) berasal dari Nigeria, Afrika Barat. Meskipun demikian, ada yang menyatakan bahwa kelapa sawit berasal dari Amerika Selatan yaitu Brazil karena lebih banyak ditemukan spesies kelapa sawit di hutan Brazil dibandingkan dengan Afrika. Pada kenyataannya tanaman kelapa sawit hidup subur di luar daerah asalnya, seperti Malaysia, Indonesia, Thailand, dan Papua Nugini. Bahkan mampu memberikan hasil produksi per hektar yang lebih tinggi (Fauzi, 2002).
Kelapa sawit memiliki banyak jenis, berdasarkan ketebalan cangkangnya kelapa sawit dibagi menjadi Dura, Pisifera, dan Tenera. Dura merupakan sawit yang buahnya memiliki cangkang tebal sehingga dianggap memperpendek umur mesin pengolah namun biasanya tandan buahnya besar-besar dan kandungan minyak pertandannya berkisar 18%. Pisifera buahnya tidak memiliki cangkang namun bunga betinanya steril sehingga sangat jarang menghasilkan buah. Tenera adalah persilangan antara induk Dura dan Pisifera. Jenis ini dianggap bibit unggul sebab melengkapi kekurangan masing-masing induk dengan sifat cangkang buah tipis namun bunga betinanya tetap fertil. Beberapa tenera unggul persentase daging perbuahnya dapat mencapai 90% dan kandungan minyak pertandannya dapat mencapai 28%. (Fauzi, 2002).
Nama Elaeis guineensis diberikan oleh Jacquin pada tahun 1763 berdasarkan pengamatan pohon-pohon kelapa sawit yang tumbuh di Martinique, kawasan Hindia Barat Amerika tengah (Mangoensoekarjo 2005).
Tanaman kelapa sawit dapat tumbuh dengan baik pada suhu udara 27o C dengan suhu maksimum 330 C dan suhu minimum 22o C sepanjang tahun. Curah hujan rata-rata tahunan yang memungkinkan untuk pertumbuhan kelapa sawit adalah 1.250-3.000 mm yang merata sepanjang tahun (dengan jumlah bulan kering kurang dari 3 bulan), curah hujan optimal berkisar 1.750-2.500 mm. Daerah pengembangan kelapa sawit yang sesuai berada pada 15o LU-15o LS (Pahan, 2006).
Bentuk wilayah yang sesuai untuk kelapa sawit adalah datar sampai berombak yaitu wilayah dengan kemiringan lereng antara 0-8%. Pada wilayah bergelombang sampai berbukit (kemiringan lereng 8 - 30%), kelapa sawit masih dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik melalui upaya pengelolaan tertentu seperti pembuatan teras. Pada wilayah berbukit dengan kemiringan > 30% tidak disarankan untuk kelapa sawit karena akan memerlukan biaya yang besar untuk pengelolaannya, sedangkan produksi kelapa sawit yang dihasilkan relatif rendah (Pahan, 2006).
Tanaman kelapa sawit dapat tumbuh dengan baik di banyak jenis tanah, yang penting tidak kekurangan air pada musim kemarau dan tidak tergenang air pada musim hujan (drainase baik). Di lahan-lahan yang permukaan air tanahnya tinggi atau tergenang, akar akan busuk. Selain itu, pertumbuhan batang dan daunnya tidak mengindikasikan produksi buah yang baik. Kesuburan tanah bukan merupakan syarat mutlak bagi perkebunan kelapa sawit. Kelapa sawit dapat tumbuh pada jenis tanah Podzolik, Latosol, Hidromorfik Kelabu, Alluvial atau Regosol. Nilai pH yang optimum adalah 5,0-5,5. Kelapa sawit menghendaki tanah yang gembur, subur, datar, berdrainase baik dan memiliki lapisan solum yang dalam tanpa lapisan padas (Fauzi, 2002)
B. Kumbang tanduk (Oryctes rhinoceros L.)
Biologi Kumbang Tanduk (Oryctes rhinoceros L.) Sistematika kumbang tanduk menurut Kalshoven (1981) adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Insekta
Ordo : Coleoptera
Famili : Scarabaeidae
Genus : Oryctes
Spesies : Oryctes rhinoceros L.
Siklus hidup Oryctes rhinoceros bervariasi tergantung pada habitat dan kondisi lingkungannya. Musim kemarau yang panjang dengan jumlah makanan yang sedikit akan memperlambat perkembangan larva serta ukuran dewasa yang lebih kecil dari ukuran normal. Suhu perkembangan larva yang sesuai adalah 27°C-29°C dengan kelembaban relatif 85-95%. Satu siklus hidup hama ini dari telur sampai dewasa sekitar 6-9 bulan (Sipayung, 1992).
Oryctes rhinoceros dalam perkembangan hidupnyamelalui empat stadia yaitu telur, larva, kepompong dan kumbang. Telur benbentuk lonjong, warnanya putih, panjang 3-3,5 mm, terbungkus hancuran media tempat telur diletakkan dan masa telur 11-13 hari (Purba dan Arifin, 1989)
Kumbang meletakkan telurnya ditempat yang baik dan aman (misalnya dalam pohon kelapa sawit yang lapuk). Sesudah 2 minggu telur-telur tersebut akan menetas menjadi larva. Larva-larva akan tumbuh dengan memakan kayu-kayu yang lapuk (Mahmud, 1989)
Larva yang baru keluar badannya putih dan kepalanya merah kecoklat-coklatan, panjangnya 7-8 mm. larva dewasa panjangnya 60-105 mm, badannya membengkok dan bagian ujung abdomen berbentuk kantong, badan larva ditumbuhi rambut pendek-pendek. Stadium larva lamanya 2-4 bulan tergantung jenis makanan dan iklim, pada media jenis palma dan di daerah daur hidupnya lebih singkat. Larva hidup pada bahan-bahan yang berasal dari tumbuhan yang telah membusuk seperti batang tanaman yang mati baik tegak maupun terbaring, timbunan serbuk gergaji, ataupun timbunan-timbunan bahan organik yang membusuk (Purba dan Arifin,1989)
Kepompong berwarna coklat, panjangnya 45-50 mm, lebarnya 22 mm. bakal alat mulut, bakal sayap dan bakal tungkai terlihat jelas. Pada bagian kepala juga tampak culanya. Kepompong terdapat dalam kokon yang dibuatnya dari tanah atau sisa-sisa serat tanaman. Lama stadium pupa 19-27 hari, rata-rata 20 hari. Kumbang yang baru terbentuk tidak segera keluar tetapi masih berlindung dalam kokon selama 14-28 hari. (Anonim, 2012)
Kumbang berwarna hitam, bagian bawah badan berwarna coklat kemerah-merahan, panjang kurang dari 40 mm. kumbang jantan mempunya cula lebih panjang dari kumbang betina. Umur kumbang 4-4,5 bulan dan kumbang betina mulai bertelur sebanyak 35-70 butir. Kumbang biasanya terbang mulai pukul 6-7 malam untuk mencari makanan pada bagian pucuk seperti pangkal daun muda, dengan cara menggerak dan berdiam di liang gerek 5-10 hari. Pada saat mencari makan terjadi perkawinan dan selanjutnya kumbang betina mencari tempat bertelur yang sesuai untuk perkembangan larvanya kelak. (Purba dan Arifin, 1989)
Bekas serangan kumbang padaq kelapa sawit dapat dilihat dari adanya potongan-potongan yang membentuk segitiga pada daun kelapa sawit. Penyebab kerusakan adalah kumbangnya, baik jantan maupun betina. Bagian yang diserang adalah pucuk pohon dan pangkal daun muda, yaitu jaringan yang mengandung cairan yang kaya gizi. Kalau titik tumbuh terserang, pohon kelapa sawit akan mati karena tidak dapat menghasilkan daun lagi.
Serangan kumbang badak dapat menyebabkan kerusakan dengan gejala sebagai berikut
a. Bila serangannya hanya sampai pada ujung atau di dekat pucuk daun yang belum membuka, maka dapat menimbulkan gejala seperti kipas bila daunnya membuka.
b. Bila serangan sampai pangkal daun atau pelepah daun termuda yang belum membuka, maka pelepah tersebut akan terhambat pertumbuhannya atau mati karena patah setelah daun keluar dan membuka.
c. Bila serangan sampai pada titik tumbuh, maka tanaman kelapa sawit tidak akan membentuk pupus baru dan biasanya mati.
Kumbang mungkin datang dari luar pertanaman yakni pada tumpukan serbuk gergaji, tumpukan sekam padi atau limbah lainnya yang dibuang. Temnpat-tempat perkembangbiakan kumbang Oryctes rhinoceros antara lain batang kelapa atau batang palm yang lapuk, tumpukan kotoran ternak, tumpukan bahan organik seperti kompos
C. Jamur Metarhizium anisopliae
Taksonomi dan morfologi
Kingdom : Fungi
Divisi : Eumycota
Kelas : Deuteromycetes
Ordo : Moniliales
Famili : Moniliaceae
Genus : Metarhizium
Spesies : Metarhizium anisopliae.
Salah satu pengendalian hayati terhadap kumbang badak menggunakan Metarhizium anisopliae yang mempunyai beberapa kelebihan antara lain adalah : Metarhizium anisopliae membunuh sasaran hama dengan tepat yaitu larva kumbang badak, kepompong, dan kumbang muda dalam sarang. Metarhizium anisopliae dapat digunakan dengan mudah, tidak memerlukan alat yang rumit sehingga biayanya murah dan penggunaan Metarhizium anisopliae tidak membahayakan lingkungan baik pada manusia, ternak maupun tanaman.
M anisopliae dapat berkembang baik pada sarang kumbang badak pada kedalaman 10-20 cm. larva instar pertama dan kedua lebih tahan terhadap cendawan ini, sedangkan larva instar ketiga lebih rentan karena lebih aktif bergerak dan apabila dalam satu tempat populasi tinggi, akan terjadi saling menyerang diantara larva yang menyebabkan luka sehingga mudah penetrasi cendawan dalam tubuh larva (Mangoendiharjo dan Mahrub,1983)
Jamur mengadakan penetrasi kedalam tubuh serangga melalui kulit diantara ruas-ruas tubuh. Mekanisme penetrasi dimulai dengan pertumbuhan spora dan pada kutikula, selanjutnya hifa jamur mengeluarkan enzim katilase, lipase dan protease yang mampu mempengaruhi komponen penyusun kutikula serangga. (Haryono.dkk,1993)
Proses perkembangan jamur dalam tubuh inang sampai inang mati berjalan sekitar 7 hari. Setelah inang terbunuh, jamur membentuk konida primer dan sekunder yang dalam kondisi cuaca yang sesuai konida tersebut muncul keluar dari kutikula serangga. Konida akan menyebarkan sporanya melalui angin, hujan, air dan lain-lain.(Untung,1993)
Untuk memastikan larva yang mati terinveksi M. anisopliae tempat biahan harus diperiksa 2 minggu setelah aplikasi jamur M. anisopliae. Tubuh larva yang menunjukkan gejala inveksi timbul bercak-bercak coklat dan tubuh larva yang mati berwarna kehijau-hijauan karena konidia jamur. (Mahmud,1989).
Jamur entomopatogenik banyak menjadi pilihan untuk pengendalian hama daripada organisme lain. Diantaranya jamur entomopatogenik mempunyai kapasitas reproduksi yang tinggi, siklus hidupnya pendek, dapat membentuk spora dan dapat bertahan lama di alam, bahkan dalam kondisi yang kurang menguntungkan sekalipun. Disamping itu, relative mudah diproduksi, kemungkinan menimbulkan resistensi bagi serangga hama sangat kecil. (Whidayat dan Dini, 1993).
D. Media biakan jamur Metarhizium anisopliae
Selama ini pengembangan Metarhizium anisopliae di laboratorium hayati sebagian besar masih menggunakan jagung sebagai mediumnya. Namun bagi penduduk Indonesia, jagung bernilai strategis karena berperan sebagai makanan pokok dan bahan pakan ternak sehingga harus dicari alternative media alami yang lebih murah dan mudah didapat oleh karena itu penelitian penelitian ini menggunakan tepung ampas tahu, tepung singkong dan tepung beras.
F. Hipotesis
1. Diduga masing masing bahan biakan dengan dosis 30 g yang tingkat kematiannya tercepat
2. M. anisopliae yang dibiakan pada media tepung beras, tepung singkong dan tepung ampas tahu lebih efektif mengendalikan hama O. rhinoceros
III.METODE PENELITIAN
A. Tempat Dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di desa Moguwoharjo, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Penelitian berlangsung pada bulan September sampai dengan Desember 2013.
B. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kompor, lampu Bunsen, enkas, erlenmayer, tabung reaksi, jarum ose, timbangan analitik, straples, belender, cangkul, sekop, sabit dan Lain-lain
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu hasil biakan jamur M anisopliae yang dibiakan pada tepung beras, singkong dan ampas Tahu
C. Metode Penelian
Metode Penelitian percobaan dengan menggunakan metode Rancangan Ancak Lengkap yang terdiri dari dua factorial. Faktor 1 media tumbuh M anisopliae yang terdiri dari 3 aras yaitu tepung beras, tepung singkong dan tepung ampas tahu. Faktor ke 2 yaitu dosis biakan : 20g/m2, 25g/m2 dan 30g /m2, sehingga diperoleh 10 kombinasi perlakuan dan kontrol (tanpa perlakuan). Dosis perlakuan diulang 3kali, sehingga diperlukan 10x3= 30 lubang untuk penyimpanan larva yang berisi serbuk geregaji.
D. Analisa data
Data pengamatan dianalisa dengan sidik ragam pada jenjang 5% untuk membandingkan atau mengetahui agar pelakuan yang berbeda digunakan uji jarak ganda Duncan atau Duncan Multiple Range Test (DMRT).
E. Pelaksanaan Penelitian
1. Pembuatan media tepung beras, singkong dan jagung
a. Tepung beras
Beras dicuci bersih kemudian direndam kedalam air dingin selama 6 jam. kalau sudah sehari semalam perendaman kemudian disaring menggunakan penyaring, kemudian beras disiram menggunakan air bersih berkali kali. kemudian setelah bersih, beras digiling menggunakan mesin tepung, setelah ditepung kemudian disaring menggunakan penyaringan halus untuk mendapatkan hasil tepung yanghalus.
b. Tepung Ubi kayu
Ubi kayu dikupas lalu dicuci, setelah ubi kayu bersih, kemudian diiris tipis-tipis, direndam selama 2 jam, Irisan ubi kayu dijemur dibawah sinar matahari sampai irisan irisan ubi kayu mudah dipatahkan. Irisan itu di belender sampai menghasilkan tepung. (Djoko,1994)
c. Tepung ampas Tahu
Ampas tahu yang masih segar dikurangi dulu kadar airnya dengan cara diperas airnya dengan menggunakan kain kasa, apas tahu yang sudah dirasa tidak basah, diratakan diatas nampah, kemudian dijemur di bawah terik matahari sekitar lima jam atau hingga kering, ampas tahu yang telah kering diblender hingga halus kemudian disaring atau diayak.
2. Perbanyakan Jamur M. anisopliae
Media dibuat dengan cara mengukus masing-masing bahan sebanyak 1 Kg selama (+20 menit). Pengukusan bertujuan untuk seterilisasi awal. Media yang sudah dikukus diangkat dan dikering anginkan, kemudian setelah dingin ditambah klorampenikol (1 kapsul untuk 1 Kg) dan diaduk merata lalu dimasukkan ke dalam kantong pelastik berukuran 0,5 Kg sebanyak 100 geram perkantong plastik, kemudian dilipat dan dimasukkan ke dalam autoclave untuk diseterilkan selama 15 menit dengan suhu 1210C
Media yang telah diseterilkan kemudian diinokulasikan dengan isolate murni jamur M. anisopliae dalam enkas steril. Jarum ose yang sudah disterilkan digunakan untuk inokulsi spora jamur M. anisopliae, kemudian dimasukkan kedalam kantong plastik yang berisi media (tepung ubi kayu, tepung beras dan tepung ampas tahu), kemudian digojok sampai rata.kantong plastic dilipat dengan bentuk segitiga dan distraples lalu disusun dalam rak dan diinkubasi selama 14 hari.
3. Pembuatan lobang
Lubang yang digunakan untuk memelihara larva dibersihkan dari gulma dengan menggunakan cangkul, dan dibuat lubang dengan ukuran 0,5m2 x 0,5m2 x 0,5m2 = 0,125m3 dan diberi serbuk gergaji.
4. Kebutuhan larva
Larva sehat instar III yang diperoleh dari lapangan, sejumlah 300 larva. lubang yang berisi serbuk gergaji diberi 10 Larva instar III dan larva tersebut dipelihara untuk selanjutnya diaplikasikan sesuai perlakuan.
5. Aplikasi jamur M. anisopliae yang sudah siap untuk diaplikasikan dengan cara menaburkan hasil biakan masing-masing bahan dengan perlakuan sebagai berikut:
1. Kontrol (tanpa perlakuan)
2. M. anisopliae pada media tepung ubi kayu dosis 20 gram/0,124 m3
3. M. anisopliae pada media tepung ubi kayu dosis 25 gram/0,124 m3
4. M. anisopliae pada media tepung ubi kayu dosis 30 gram/0,124 m3
5. M. anisopliae pada media tepung beras dengan dosis 20 gram/0,124 m3
6. M. anisopliae pada media tepungberas dengan dosis 25 gram/0,124 m3
7. M. anisopliae pada media tepungberas dengan dosis 30 gram/0,124 m3
8. M. anisopliae pada media tepung ampas tahu dosis 20 gram/0,124 m3
9. M. anisopliae pada media tepung ampas tahu dosis 25 gram/0,124 m3
10. M. anisopliae pada media tepung ampas tahu dosis 30 gram/0,124 m3
Pengamatan dilakukan setiap 7 hari sekali selama satu bulan (sampai semua larva mati).
Parameter yang diamati pengamatan dilakukan pada saat aplikasi jamur meliputi :
1. Larva terinfeksi
Setelah aplikasi masing-masing agen hayati dilakukan pengamatan 7 hari sekali selama satu bulan. Kemudian diamati keadaan larva yang menunjukkan gejala infeksi jamur.
2. Larva mati terinfeksi
Dilakukan pengamatan keadaan larva yang mati terinfeksi jamur yaitu dengan cara mengangkat larva dari lubang perlakuan dengan ciri-ciri tubuh larva diselimuti jamur, kaku dan kering. Kemudian dihitung larva yang mati terinveksi jamur 7 hari sekali selama satu bulan (sampai larva mati)
3. Persentase larva terinveksi jamur dilakukan dengan cara menghitung jumlah larva terinveksi setelah aplikasi jamur, dilakukan 7 hari sekali selama satu bulan dengan menggunakan rumus
P =
keterangan :
P= persentase larva terinveksi
4. Laju inveksi terhadap larva dihitung dengan rumus
r =
keterangan :
r=laju inveksi
t2-t1=7 hari
X1=persentase larva terinveksi pada pengamatan minggu pertama
X2= persentase larva terinveksi pada pengamatan minggu kedua
5. Persentase larva mati terinveksi dilakukan dengan cara menghitung jumlah larva yang mati setelah aplikasi dengan menggunakan rumus :
P=
Keterangan :
P= persentase larva mati terinfeksi
Table Pengamatan Larva terinfeksi
Bahan biakan | Dosis/m2 | Larva mati terinfeksi pada hari ke | |||
7 | 14 | 21 | 28 | ||
Tepung beras | 20g | ||||
25g | |||||
30g | |||||
Tepung singkong | 20g | ||||
25g | |||||
30g | |||||
Tepung ampas tahu | 20g | ||||
25g | |||||
30g | |||||
Kontrol | 0 g |
Table Pengamatan larva Mati Terinfeksi
Bahan biakan | Dosis/m2 | Larva mati terinfeksi pada hari ke | |||
7 | 14 | 21 | 28 | ||
Tepung beras | 20g | ||||
25g | |||||
30g | |||||
Tepung singkong | 20g | ||||
25g | |||||
30g | |||||
Tepung ampas tahu | 20g | ||||
25g | |||||
30g | |||||
Kontrol | 0 g |
Layout penelitian
Ts1 20 | TB1 25 | TB3 30 |
TB1 30 | Ts2 20 | TA1 25 |
TB3 25 | TB2 25 | Ts1 30 |
Ts2 25 | TA1 30 | TA2 25 |
TB2 20 | Ts3 30 | TB1 20 |
TA1 20 | TB3 20 | Ts2 30 |
Ts3 25 | TA3 25 | Ts3 20 |
TA2 20 | Ts1 25 | TB2 30 |
TA3 20 | TA2 30 | TA3 30 |
K0 | K0 | K0 |
Keterangan:
TB = Media Tepung Beras
TS = Tepung Ubi Kayu
TA = Tepung Ampas Tahu
DAFTAR PUSTAKA
Fauzi, yan., 2002. Kelapa sawit. Penebar Swadaya, Jakarta.
Haryono Hudi, Siti Nuraini dan Riyatno.1993. Prospek penggunaan Beauveria Basiana Untuk Pengendalikan Hama Tanaman perkebunan. Prosiding Makalah, Simposiun Patologi serangga I : Yogjakarta
isroi, 2004. Bioteknologi Mikroba untuk pertanian Organik, penelitian mikroba
Balai Penelitian bioteknologi Perkebunan indonesia, Lembaga Riset Perkebunan Indonesia. http.//www.gogle.co.id.
Kalshoven, L.G.E.1981. Pest of crop in Indonesia. Revised and translated by
Van der laan, Ichtiar baru-Van Houve : Jakarta
Mangoendiharjo, S., dan E. Mahrub. 1983. Pengendalian Hayati. Jurusan ilmu Hama Tumbuhan Fakultas Pertanian, Universitas Gajah Mada : Yogyakarta
Pahan, Iyung. 2006. Panduan Lengkap Kelapa Sawit, Manajemen Agribisnis dari Hulu hingga Hilir. Penerba Swadaya. Jakarta.
Purba, Amir dan Arifin Djamin. 1989. Pengendalian Hama Orytes dan Rhynchophorus. Kelapa (Cocos nucifera, L). Asosiasi Penelitian dan Pengembangan Perkebunan Indonesia: Sumatra Utara.
Pesat penelitian Kelapa Sawit. 1996. Pengendalian Kumbang Tanduk Dengan Feromon, Orytes rhinoceros (Linnaeus). Medan. 7p.
Pesat penelitian Kelapa Sawit. 2005.Strategi pengendalian Ha Orytes rhinoceros Di. PT.Tolan Tiga Indonesia
Sudharto Ps, A. Susanto, Z.A, Harahap, E. Purnomo. 2000.pengendalian
Kumbang Tanduk O.rhinoceros pada Tumpukan tandan Kosong Kelapa Sawit. Pertemuan Teknisi Kelapa Sawit, Oktober 2000 di Medan 14p
Soepropto M dan Eddy M, 1989. Pengendalian hayati
Susanto, A. dan J. Brahmana. 2008. Serangan Oryctes rhinoceros pada Tanaman Kelapa Sawit Menghasilkan (TM). Warta Pusat Penelitian Kelapa Sawit Vol. 16 (1): 1-7.
Sipayung, A. 1992. Pengaruh serangan Oryctes rhinoceros terhadap pengalihan status tanaman kelapa sawit dari belum menghasilkan ke menghasilkan. Buletin Puslitbun Marihat-Bandar Kuala 12 (1): 18-24.
Susilo Achmadi, Santoso, dan Tutung,H.A.1993.Sporulasi, Viabilitas Candawan Metarrhizum anisopliae (Metsenikof) Sorokin, pada media jagung dan Patogenitasnya terhadap larva Oryctes rhinoceros prosiding Makalah, Simposium Patologi Serangga I.: Yogyakarta
Untung, K. 1993. Pengantar pengelolaan hama terpadu. Gadjah Mada University press : Yogyakarta
Widayat, Wahyu dan Dini Jamia Rayati. 1993. Hasil Penelitian jamur Entomopatogenik Lokal dan Prospek penggunaannya sebagaiInsektisida Hayati. Prosiding Makalah, Simposium Patologi Serangga I : Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar