Jumat, 22 Februari 2013
CERPEN : KEMATIAN TIARA
Tiara takut sekali mati.
Ia merasa takut pada kematian sejak duduk di TK. Suatu hari ia pernah melihat seekor kambing yang dipotong di alun-alun desa. Kambing itu adalah hewan kurban hari raya Idul Adha. Tiara kecil tidak tahu mengapa kambing itu dipotong, di hadapan orang banyak pula! Ia menangis meraung-raung, memohon agar kambing itu dibiarkan hidup. Namun, tak seorang pun mempedulikannya. Orang tuanya bingung ketika ia pulang dengan sisa sedu sedannya. Saat ditanya mengapa ia menangis, Tiara kecil hanya menggelengkan kepalanya.
Sampai dua hari kemudian, Tiara kecil masih memikirkan kambing yang dipotong di alun-alun desa. Ia menyimpan banyak pertanyaan dalam dirinya. Apakah kambing itu menderita ketika lehernya diiris dengan golok yang tajam? Sesudah hewan itu mati, apa yang terjadi? Sudah selesaikah hidupnya?
Begitu kuat rasa ingin tahunya, Tiara kecil memutuskan untuk membunuh. Sebenarnya ia ingin membunuh hewan, seperti kambing di alun-alun desa. Ayahnya memelihara beberapa jenis hewan. Ada anjing blasteran peking tanpa nama yang seusia dengannya, beberapa ekor ayam yang jinak, satu kandang berisi banyak kelinci putih dan beberapa ekor merpati.
Namun, Tiara kecil tahu pasti, ayahnya akan marah besar jika ia membunuh salah satu di antara mereka. Lagipula, ia sayang sekali pada mereka. Mereka teman bermain yang menyenangkan. Apalagi jika dibandingkan dengan anak-anak tetangga. Ia bosan dengan tingkah laku mereka yang meniru-niru orang dewasa. Padahal tidak semua orang dewasa kelakuannya patut ditiru.
Jadi, apa yang bisa Tiara kecil bunuh?
Ia melihat banyak lalat yang beterbangan di depan rumahnya. Ah, apa susahnya membunuh mereka? Ia sering melihat Mama mengibaskan sapu lidi dan seketika setumpuk lalat sudah menggelepar di lantai, meregang nyawa. Nyamuk sama saja. Tawon? Oh, tidak! Ia sudah belajar dari pengalaman. Jangan pernah mendekati seekor tawon walaupun hewan itu sudah terkapar di tanah. Dulu ia pernah menginjak seekor tawon karena ia pikir tidak apa-apa jika hewan itu sudah mati. Ternyata sengat masih menempel di badan tawon itu. Kaki Tiara kecil bengkak. Ia harus tinggal di kamarnya selama tiga hari. Oh, betapa membosankannya!
Bagaimana kalau boneka beruangnya?
Tiara kecil menatap boneka beruang yang dipanggilnya Oo. Oo selalu menemaninya ke mana pun ia pergi. Boneka itu tidak pernah protes terhadap apa pun yang ia lakukan.
Tapi boneka beruang itu tidak hidup.
Oo kaku, diam. Tidak pernah makan, minum, tidur, mandi, bernafas, buang air. Oo hanya bisa ikut bersama Tiara kecil, jalan-jalan ke mana pun ia suka.
Mungkinkah boneka beruangnya itu sudah mati? Jadi, ia pernah hidup sebelumnya?
Tidak mungkin. Seingatnya Oo selalu diam dan kaku sejak Tiara kecil melihatnya di sebuah toko mainan. Kemudian Mama membelikan untuknya.
Daripada tidak ada hewan yang bisa dibunuh, Oo pun jadi!
Maka Tiara kecil pun mengendap-endap menuju dapur. Ia mengambil sebilah pisau tajam yang biasa digunakan Mama untuk memotong daging. Setelah itu, ia mengambil Oo dari boks tempat tidurnya. Kemudian, masih mengendap-endap, ia menuju teras di samping rumah.
Sambil duduk di ubin yang dingin, Tiara kecil memegang Oo di tangan kiri dan pisau di tangan kanan. Mulai ia menggerakkan pisau itu ke leher Oo, maju mundur. Pelan-pelan.
Mana darahnya? Mengapa tidak keluar darah dari leher Oo? Tiba-tiba terdengar suara Bapak, mengagetkannya. Kepala Bapak menyembul keluar dari pintu samping yang setengah terbuka.
“Hayo, Tiara sedang apa?”
Tiara kecil terkejut sekali. Dalam posisi duduk ia melonjak kaget, lalu menangis. Ia tidak begitu tahu mengapa ia menangis. Sementara Bapak berdiri, bingung, menatap anaknya yang tersedu memegang boneka beruang dengan leher yang hampir putus serta sebilah pisau daging.
Mama marah-marah karena harus menjahit leher Oo dan menambah kapuk yang keluar karena perbuatan Tiara kecil. “Kenapa sih, Tiara selalu ceroboh dengan barang-barangnya?”
Bapak jadi sering menggoda Tiara kecil jika anaknya itu sedang melamun atau asyik melakukan sesuatu. Bapak akan mendekatinya tanpa suara, lalu berteriak, “Hayo, Tiara sedang apa?”
Sampai sekarang, Tiara mudah sekali kaget oleh hal-hal kecil.
Dan sampai ia dewasa, Tiara takut sekali akan kematian. Baik kematian dirinya sendiri maupun kematian di luar dirinya.
Sampai suatu hari, di ruang praktik dokter pribadinya.
“Tiara, hasil pemeriksaan terakhir menunjukkan bahwa kanker di otakmu tidak dapat disembuhkan. Saya memperkirakan hidupmu tinggal tiga bulan lagi. Namun, jangan menganggap hasil ini sebagai vonis, karena bukan saya yang memutuskan kapan hidupmu harus berakhir. Juga jangan berhenti berharap. Apa pun bisa terjadi selama tiga bulan ke depan.”
Hegh…..! Bagai tertusuk sebuah belati bermata dua, Tiara merasa dirinya mati saat dokter selesai mengucapkan kalimatnya. Keseluruhan raga dan jiwanya menjadi asap yang perlahan lenyap dari dimensi ruang dan waktu. Sampai keluar dari ruang praktik dan mulai menyetir mobil ke mana pun, kecuali ke rumah, Tiara masih belum sadar sepenuhnya.
Bagaimana kalau aku mati sekarang saja?
Daripada harus repot-repot berobat, dicekoki harapan palsu oleh dokter dan belas kasihan orang lain? Ia ingat Eyang Putrinya yang meninggal di rumah sakit karena komplikasi jantung dan darah tinggi, menghabiskan puluhan juta rupiah. Padahal seminggu sebelumnya dokter mengatakan kemungkinan untuk sembuh masih ada. Untuk apa mengurusi penyakit kalau toh akhirnya aku akan mati juga?
Hey, bukankah kalau kau mati sekarang, kau akan merepotkan orang lain? sebuah suara dalam diri Tiara berbicara.
“Diam! Aku tidak membutuhkanmu sekarang!”
Sungguh! Kalau kau mati, katakanlah mobilmu tanpa sengaja kau masukkan ke jurang dengan dirimu di dalamnya, berarti kau bunuh diri. Walaupun tidak semua orang tahu, tetapi Boss Besar tahu! Kau tidak bertanggung jawab terhadap diri-Nya dan orang-orang di sekitarmu. Polisi akan sibuk mencarimu karena keluargamu cemas sebab kau tidak pulang selama dua hari. Kemudian, tim SAR, dokter untuk autopsi, pendeta untuk ketenangan arwahmu dan mendoakanmu agar terhindar dari siksa akhirat. Belum lagi orang-orang yang akan bergosip di upacara pemakamanmu. Di mana akan keluargamu taruh muka mereka?
“Bisa diam tidak sih? Kalau aku mau mati sekarang, itu kan hakku!”
Benar kau mau mati sekarang? Tidak takut lagi?
“Apa rasanya, ya? Sakit? Seperti disuntik, atau seperti dibedah tanpa bius? Sakit yang tertahankan atau tak tertahankan sampai harus pingsan? Adakah mati tanpa rasa sakit? Mati dalam tidur?”
Bagaimana kalau kau terbangkan saja mobilmu ke jurang di depan agar kau tahu bagaimana rasanya?
“Baik! Siapa takut?”
Bukannya kau selalu takut mati?
“Betul juga,” pikir Tiara. Kematian itu mengerikan, entah apanya yang membuat menjadi mengerikan.
Berani tidak?
Sialan, dia memaksa.
Ayo! Takut?
“Siapa takut!”
Dan sedan biru itu melayang terbang lalu jatuh dan terbakar di dasar jurang yang berbatu-batu tajam.
Tiara menyaksikan semuanya dari mulut jurang sambil tersenyum puas. Ia kini tidak lagi harus bernama Tiara karena kini tidak ada lagi seorang gadis bernama itu yang takut mati. Siapa yang tahu? Ketika tidak menemukan mayatku bersama sisa mobil yang terbakar, mereka pasti berpikir api telah menghanguskanku menjadi debu. Mereka tidak akan mencariku. Mereka tidak akan pernah tahu.
Untuk pertama kalinya, Tiara merasa amat dekat dengan kematian dan tidak merasa takut karenanya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar